Bandung, , JB — Tak ada udara sejuk hari itu. Semua berubah memanas dan memerah. Selama tujuh jam kepulan asap hitam membumbung tinggi memenuhi liku-liku setiap jalan di Kota Bandung. Tak hanya itu, semua listrik pun padam.
Tak satupun tahu apa yang sedang terjadi di Bandung. Namun, seorang jurnalis muda bernama Atje Bastaman mengabadikan peristiwa bersejarah ini melalui berita di harian Suara Merdeka yang dirilis pada 26 Maret 1946. Ia menyampaikan hal yang disaksikan mata kepalanya langsung kala itu.
Seperti ditulis liputan6.com pada artikel berjudul “Bandung Lautan Api 1946: Spirit Perjuangan Rakyat Indonesia Menolak Titah Penjajah”, Atje menyaksikan langsung pembakaran Bandung dari Bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk. Dari puncak itu, Atje melihat Bandung yang memerah sepanjang daerah Cicadas sampai Cimindi.
Setelah menyimak peristiwa itu, Atje langsung menuju Tasikmalaya. Setibanya di sana, ia langsung segera menulis berita dan memberi judul “Bandoeng Djadi Laoetan Api”. Namun, karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka diperpendek menjadi “Bandoeng Laoetan Api”.
Ia menggambarkan bagaimana warga Bandung memilih berkorban lebih baik daripada menyerah dalam jajahan. Tepat pada 24 Maret 1946, sekitar 200 ribu warga Bandung bersama Tentara Republik Indonesia (TRI) dan laskar rakyat membakar rumah dan harta benda mereka.
Tak ada pilihan lain saat itu bagi warga Bandung. Semua dilakukan demi menjaga Bandung agar tak dijadikan markas strategis militer tentara sekutu dan tentara NICA Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Mereka pun meninggalkan wilayah Bandung Utara menuju pegunungan di daerah selatan. Di waktu yang sama, tentara Inggris mulai menyerang, pertempuran sengit terjadi.
Pejuang Bandung kala itu berada di bawah komando Kolonel AH Nasution, seorang Komandan Divisi III TRI. Dalam buku “Bandung Lautan Api” karya Djajusman (1975), Nasution meminta lampu hijau dari Sutan Sjahrir, seorang perdana menteri saat pemerintahan Indonesia masih berbentuk Serikat, untuk melakukan pembumihangusan.
Namun, Sjahrir menolak tegas permintaan Nasution. Dia meminta untuk mematuhi perintah dan ultimatum Inggris atas nama rakyat.
“Jangan diadakan pembakaran dan sebagainya karena nanti yang rugi rakyat kita sendiri juga dan yang harus membangunnya kelak kita,” tegas Sjahrir kala itu.
Nasution bimbang. Sebagai komandan dan demi melindungi rakyat serta mempertahankan harga diri Kota Bandung, dia tidak boleh takluk pada Sekutu. Namun, Inggris juga tidak main-main dan serius memerintahkan pengosongan Bandung bagian utara. Sehingga tak ada pilihan selain membumihanguskan Bandung. ***