Bandung, JB -||- Siapapun yang pernah ke Kota Bandung pasti familier dengan nama Jalan Dr. Djunjunan. Ternyata, Dr. Djunjunan adalah salah satu pendiri perkumpulan terbesar dan tertua se-Indonesia. Perkumpulan itu bernama Paguyuban Pasundan.
Ketua Umum Paguyuban Pasundan, Didi Turmudzi menerangkan, didirikannya paguyuban ini bermula dari para mahasiswa yang berasal dari Kota Bandung.
Kala suasana keterjajahan saat itu, para siswa kedokteran yang memiliki kesadaran merasa perlu dibentuknya sebuah organisasi untuk menghimpun kebersamaan dalam rangka mewujudkan sebenarnya untuk kemerdekaan.
“Dari awal sudah berpikir seperti itu, makanya para mahasiswa kedokteran berkumpul dan bersepakat pada tanggal 20 Juli 1913 mendirikan organisasi yang namanya Paguyuban Pasundan. Salah satu pendirinya adalah Dr. Djunjunan,” terang Didi.
Organisasi ini memiliki karakter perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki harkat dan martabat, khususnya masyarakat yang berasal dari tatar Sunda.
Sejak dulu, Paguyuban Pasundan memiliki dua misi, yakni memerangi kebodohan dan kemiskinan, juga menjaga, memelihara, mengembangkan budaya Sunda serta nilai-nilai agama.
“Misi tersebut sampai saat ini masih tetap konsisten dilakukan Paguyuban Pasundan. Organisasi ini tidak hanya di Kota Bandung, hampir di tiap provinsi dan negara ada,” ujarnya.
Untuk mengejawantahkan dua misi tersebut, Paguyuban Pasundan pun bergerak di beberapa bidang salah satunya bidang pendidikan. Pada tahun 1922 lahirlah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasoendan. Ternyata kualitasnya bisa mengalahkan kualitas sekolah-sekolah yang ada saat itu.
Bahkan, melahirkan banyak lulusan yang menjadi tokoh penting, seperti Umar Wirahadikusumah, wakil presiden RI ke-4. Ada juga yang jadi Gubernur Jabar, Pak Mashudi. Ada juga yang jadi rektor dan Menteri Pertanian.
“Paguyuban Pasundan melahirkan SDM yang andal untuk Bandung dan Indonesia,” akunya.
Selain bidang pendidikan, Paguyuban Pasundan juga tetap eksis di bidang ekonomi dengan membuat Bank Central Pasundan. Paguyuban ini juga sudah melatih 14.000 UMKM.
Ada pula percetakan dan penerbitan yaitu Sipatahunan. Bahkan pembacanya sampai ke Asia Tenggara.
“Koran berbahasa Sunda tapi dibaca sama orang asing. Ini menjadi nilai utama tersendiri jika budaya Sunda memang sangat diminati oleh banyak pihak kala itu,” ucapnya.
Paguyuban Pasundan juga memiliki Yayasan Kesejahteraan Pasundan untuk membantu menyekolahkan anak-anak Sunda yang kurang mampu. Didi menambahkan, fokus Paguyuban Pasundan adalah pembenahan pendidikan, ekonomi, dan pelestarian budaya.
“Kalau pelestarian budaya yang sudah berjalan itu kita membuat akademi budaya Sunda. Di sana kami melatih para pejabat Pemkot Bandung dari mulai kepala dinas, para asisten, camat, lurah dan kepala sekolah Kota Bandung. Kita bantu untuk bisa berbahasa Sunda dalam memaparkan sesuatu,” ungkap Didi.
Menurutnya, dulu pada tahun 1960, budaya Sunda di Bandung masih sangat kental. Siapapun yang datang ke Bandung, dari manapun asalnya mereka berusaha menjadi seperti orang Sunda.
“Mereka bicara dengan bahasa Sunda di mana pun berada. Di toko, alun-alun, sekolah, masjid. Tapi, pada tahun 1990, jangankan para pendatang, orang Bandung sendiri saja bahasanya sudah bercampur. Di Jawa Barat kita krisis menggunakan bahasa Sunda,” jelasnya.
Kini, menurut Didi, banyak para generasi muda yang kadang takut bicara pakai Bahasa Sunda karena adanya undak usuk basa.
Salah satu cara untuk melestarikan Bahasa Sunda pada generasi muda, Paguyuban Pasundan mendirikan 118 sekolah, 4 perguruan 5, dan ada binaan pesantren.
“Dalam rangka pemberdayaan inilah kami fokus dalam Akademi Budaya Sunda. Ini rutin setiap 3 bulan sekali dalam berbagai level. Kita masuk juga ke kurikulum. Kita menyiapkan 2 SKS Budaya Sunda,” paparnya.
Bahkan, pada perguruan tinggi di tingkat S2 dan S3, abstraknya harus menggunakan bahasa Sunda. Hal tersebut dalam rangka pelestarian bahasa dan budaya Sunda, meski mahasiswanya berasal dari berbagai provinsi.
“Penyampaian mata pelajaran pun dengan bahasa Sunda. Saat menguji sidang pun saya pakai bahasa Sunda,” tuturnya.
Ia menambahkan, siapapun bisa menjadi anggota Paguyuban Pasundan. Sebab paguyuban ini menganut pendekatan kultural.
“Di luar orang Jawa Barat bisa menjadi dekan karena pendekatan kita adalah kultural. Siapapun yang mencintai budaya Sunda dia sudah termasuk dalam Paguyuban Pasundan,” katanya.
Tepat pada 20 Juli mendatang, Milangkala Paguyuban Pasundan akan diperingati di Pendopo Kabupaten Cianjur. Didi menuturkan, pelaksanaan milangkala di Cianjur juga dalam rangka menggembirakan masyarakat yang kemarin sempat terkena musibah.
“Ada upacara khusus juga dan beberapa penghargaan kepada masyarakat yang sudah berkontribusi untuk melestarikan budaya Sunda,” tuturnya.
“Kami juga akan meresmikan rumah singgah. Ini sebagai tempat untuk pelatihan industri kepada masyarakat. Kita bantu pengemasa dan pemasarannya,” imbuh Didi. *red