BANDUNG, journalbroadcast.co -||- “Saya bawa albumnya. Ini kereta saya dulu. Itu anak saya masih kecil, dulu ikut lomba juga bareng saya. Nah, ini piala kami. Waktu tahun 1981 kami dapat juara umum,” kenang Dino Nobel, peserta lomba kereta peti sabun tahun 1981.
Ia memperlihatkan satu album foto kecil yang dikeluarkan dari jaketnya. Sembari membolak-balik foto-foto, Dino mulai bercerita kenangan saat ia dan anaknya ikut balap kereta peti sabun kala itu.
Dino sengaja datang ke lokasi lomba untuk melihat langsung bentuk mobil yang sekarang.
“Saya dulu ikut waktu race tahun 1981 di Sukajadi. Waktu itu mobil saya dibuatnya dari tikblok,” tuturnya.
Selain melihat langsung situasi lomba, ia pun ingin mencari orang-orang lama yang dulu sempat ikut lomba bersama dengannya.
“Saya juga lagi cari-cari ini teman lama yang dulu sempat ikut balap bareng. Tadi ketemu sama teman anak saya yang juga ikut balap tahun 1981. Tapi sekarang dia sudah dewasa, sudah jadi bapak-bapak,” ungkap Dino.
Ia mengaku kaget dan senang saat tahu lomba kereta peti sabun kembali diselenggarakan setelah 35 tahun vakum. Namun, ada hal yang disayangkannya.
“Sayang, kenapa lokasinya bukan di Sukajadi lagi. Padahal secara track itu bagus di sana,” akunya.
Saat berkeliling melihat papan peluncur dan beberapa kereta yang sudah bertengger, Dino menyebutkan, jika sebenarnya masih banyak kereta yang kurang aman untuk dipakai saat lomba nanti.
“Kalau lihat dari sebagian kereta-kereta yang sudah datang ini, saya ingin kasih masukan. Harus pilih bahan material yang tepat karena nanti dia akan mentok ke aspal saat meluncur,” katanya.
“Khawatirnya kalau material yang terlalu rapuh, malah bisa bikin cedera parah ke peserta. Bukan cuma peserta, penonton juga bisa kena imbasnya, terutama kalau ada kereta yang pakai material kayu ya,” lanjut Dino sambil menunjuk beberapa kereta yang ia rasa kurang baik.
Ia berharap, lomba kereta peti sabun bisa lebih rutin diselenggarakan. Minimal dua tahun sekali. Sebab permainan ini tergolong langka di Indonesia.
“Seyogyanya mahasiswa itu minimal dua tahun sekali mengadakan acara seperti ini. Sebab tidak ada mahasiswa lain selain Daya Mahasiswa Sunda (Damas). Kalau sponsor sekarang makin banyak,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu peserta berusia 52 tahun, Dyno Eliss datang menggunakan kostum seragam SD. Ia membawa kereta hasil karyanya sendiri yang terbuat dari kardus berlapis koran.
“Ini pertama kali saya ikut lomba, ambil kategori fun race. Di rumah cuma ada material ini, jadi pakai seadanya saja. Cuma sehari bikinnya,” ujar Eliss.
Meski sudah berusia senja, ia tetap semangat mengikuti lomba ekstrem ini. Sebab ia mengakui jika dirinya memang sangat suka dengan olahraga dan hal-hal yang berbau ekstrem.
“Acara ini keren banget. Jangan kalah sama orang luar negeri. Indonesia juga pasti mampu mengadakan yang lebih baik,” katanya.
Kemudian, salah satu peserta muda, Alvian berusia 10 tahun datang bersama ayahnya. Kereta merah buatan ia dan sang ayah akan berlaga di lima kategori balap atau race anak.
Selama sebulan penuh ia dan ayahnya membuat kereta tersebut. Satu kereta tersebut akan dipakai lomba Alvian dan pamannya.
“Ingin coba saja. Ini pertama kali ikut lomba balap, ambil kategori lomba balapan. Acaranya seru. Tapi tadi belum ketemu sama teman yang seumuran,” tutur Alvian. *red