Bandung, JB — Setiap wanita bisa maju sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun untuk mencapai kemajuan tak bisa instan, dibutuhkan proses menuju kesuksesan. Kerja keras, kerja tekun, tingkatkan komunikasi dan kerjasama dengan baik.
Mampu menjaga etika dalam setiap pergaulan, karena wanita Indonesia harus menyadari dalam dirinya melekat dengan budaya timur. Sesulit apapun tantangan dan pekerjaan yang dihadapi menuju keberhasilan, libatkan Tuhan dalam segala hal.
Hal itu diungkapkan Plt. Direktor Kemahasiswaan yang juga sebagai Direktur Kerjasama Universitas Sangga Buana (USB) YPKP Bandung, Nurhaeni Sikki S.A.P., M.A.P, saat ditemui di ruangannya bertepatan di Hari Kartini, 21 April 2022.
Menyikapi momentum hari Kartini, baginya adalah penting untuk menyemangati setiap perempuan Indonesia dalam meraih cita-cita dan berbakti untuk keluarga, bangsa dan negera.
Nurhaeni Sikki, sendiri merupakan sosok perempuan yang memiliki karakter dan jiwa pendidik yang kuat. Wanita berjilbab yang memulai karirnya dari bidang militer ini, kini lebih memilih melanjutkan pengabdiannya di bidang akademisi.
Karier yang tidak sebentar, sebab selama 28 tahun dirinya berkarir dan mengabdikan dirinya di tubuh TNI. Nurhaeni adalah lulusan pendidikan Bintara pada Tahun 90 dan bertugas di Kodam Jaya. Pada awal rintisan karirnya, untuk masuk dalam militer, dirinya lolos melalui jalur prestasi. Karena pada saat itu Nurhaeni merupakan atlet renang DKI Jakarta.
Meskipun lolos dan tergabung dalam Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat), dirinya tak lantas berpuas diri. Dirinya terus mengembangkan diri dengan menempuh pendidikan formal di Universitas Indonesia jenjang D3 (lulus tahun 1995), saat itu ia kuliah sambil mengemban tugas sebagai prajurit TNI.
Seiring berjalannya waktu, setelah menjadi Perwira Kowad dirinya bertugas di Pusdik Kowad, karir militer dari Letnan Dua hingga berpangkat Letnan Kolonel. Selama waktu tersebut, dirinya tetap melanjutkan pendidikan formal hingga jenjang (S2) Magister ilmu Administrasi Publik (M.A.P).
“Jenjang D3 kuliah di Universitas Indonesia (UI), jenjang S2 (2014-2015) dan S3 (2016-2017) lulus dari STIA LAN Bandung,” ujar Nurhaeni.
Selama bertugas di Pusdik Kowad, dirinya mengemban tugas menjadi guru militer. Karir sebagai guru militer hingga dirinya pernah ikut mendidik lulusan Taruni AD.
Mengemban dan pengabdian sebagai abdi negara di bidang militer selama 28 tahun, akhirnya wanita yang saat ini memiliki dua putra memutuskan pada tahun 2018 untuk hijrah ke dunia akademisi, dengan status pensiun dini.
Keputusan dirinya memilih dunia akademisi memiliki berbagai alasan dan tujuan yang sama, yakni sama-sama mengabdi dan menyebarkan disiplin ilmu namun dengan skala yang lebih luas.
“Alasan saya mengambil pensiun dini bukan berarti saya tidak mencintai dan meninggalkan TNI, tapi mungkin ini sudah jalan Allah karena hidup itu pilihan, saat ini saya tengah menyelesaikan pendidikan S3. Mudah-mudahan tahun ini bisa menyelesaikan,” urainya.
Meskipun sudah tidak lagi sebagai militer, namun dirinya tetap membawa dasar-dasar ilmu yang dimiliki selama menjadi militer ke dunia akademisi. Berdasarkan pengalaman tugas selama di dunia militer sebagai tenaga pendidik atau guru militer di Pusdik Kowad di Lembang, membuat melekat jiwa edukasi dalam dirinya.
Berkat pengalaman dan jenjang karir di dunia militer, wanita yang juga dosen dengan karakter tangguh ini merasa tak lagi menemukan tantangan di dunia militer, dan terus mengembangkan diri. Tak cukup dengan karir yang telah dicapai di tubuh TNI. Untuk itulah dirinya memutuskan menempuh tantangan di luar kemiliteran dengan terjun ke dunia akademisi.
“Memutuskan pensiun dini, saya sudah hitung-hitungan jika seandainya gelar doktor saya sudah selesai, apakah jenjang karir saya menunjang. Akhirnya saya memilih dunia akademisi karena usia masih memenuhi syarat. Karena kalau untuk masuk dunia akademisi setelah pensiun normal, usia saya sudah ketuaan,” papar Nur panggilan akrabnya.
Setelah memutuskan pensiun dini, bukan berarti karir juga selesai. Pensiun dini bukan di rumah dan tanpa pekerjaan. Tetapi menjadi langkah awal berkiprah di dunia akademisi.
“Yang tadinya hanya mendidik srikandi-srikandi muda, saat ini saya mendidik sipil yakni mahasiswa sebagai generasi muda pemimpin-pemimpin masa mendatang,” ujarnya dengan sunggingan senyum manisnya.
Setelah masuk dunia akademisi, bukan suatu tantangan yang ringan namun memiliki tantangan yang cukup berat. Dirinya tetap menjadi seorang ibu yang bertanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.
Namun ketertarikannya untuk menggeluti dunia akademisi sudah tertanam dalam dirinya selama di dunia militer, sebagai tenaga pendidik. Adalah Universitas Sangga Buana menjadi tempat mengembangkan diri dan meniti karir di dunia akademisi.
Diakuinya, ia merasa memiliki kebanggaan tersendiri ketika mendidik siswa dari sipil. Pertama kali dirinya melangkahkan karirnya di Sangga Buana, dirinya juga pernah mengajar di sekolah Ariyanti dan STIA LAN.
Menjadi seorang dosen, baginya seperti menemukan kembali tunas-tunas pengabdian terhadap bangsa dan negara. Untuk itu dirinya menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen seniornya yang mengantarkan dan memperkenalkannya ke Sangga Buana YPKP Bandung.
“Saya mengucapkan terimakasih, semoga beliau sehat selalu dan dalam lindungan Allah Subhanahu wata’ala,” ucap Nurhaeni seraya berdoa.
Sedikit kisah, dipaparkannya, pada tahun 2018 pada saat dirinya dipertemukan dengan Rektor Sangga Buana pada saat itu. Saat melihat curiculum vitae yang dibawanya, saat itu Sang Rektor tak yakin jika dirinya akan memutuskan pensiun dini, karena pada saat itu dirinya datang masih dengan pakaian dinas lengkap.
“Namun saya pada saat itu seperti meyakinkan, dengan mengucap bismillah saya siap untuk hijrah dan masuk dalam dunia kampus,” kisahnya.
Meskipun sudah tak lagi berada di dunia militer, namun dirinya tetap menjalankan disiplin seperti saat di dunia militer. Seperti disiplin waktu.
Dari pengalaman dan sepak terjang yang dimiliki wanita dari dua bidang disiplin ilmu yang berbeda, menegaskan bahwa setiap perempuan Indonesia memiliki peluang, jenjang pendidikan dan pilihan karir serta memilih pengabdian kepada bangsa dan negara dengan cara yang berbeda.
Momentum peringatan Hari Kartini 2022, dirinya memandang sosok Kartini sebagai role model pejuang emansipasi wanita, melalui buku yang ditulisnya berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Tanpa adanya ide dari pahlawan Kartini, bukan tidak mungkin perempuan saat ini menikmati emansipasi wanita.
“Artinya emansipasi yang dibuat ini yang akhirnya bisa membuat perempuan memiliki peluang karir di berbagai bidang. Contohnya, berkarir sebagai dosen (perempuan), itu emansipasi, berkarir sebagai TNI itu juga emansipasi,” tuturnya.
Mungkin kalau tanpa perjuangan ibu Kartini memajukan perempuan Indonesia, kata Nurhaeni, wanita itu hanya mengurus anak, suami. Identik dengan sumur dan dapur. Namun Nurhaeni menegaskan, kita tetap berkarir dan berkarya, tetapi kembali bahwa keluarga harus nomor satu.
Untuk itu, sebagai generasi penerus Kartini-kartini muda saat ini dan masa mendatang. Dirinya mengajak kaum perempuan Indonesia untuk tidak menjadi seorang Kartini yang cengeng, tapi menjadi Kartini yang tangguh sesuai dengan profesinya masing-masing.
“Apapun profesinya, tetaplah menjadi kartini-kartini yang membangun bangsa dan negara. Kartini yang tangguh, artinya pantang menyerah, memiliki jiwa dan semangat yang tinggi. Memiliki disiplin yang tinggi dan menerapkan etika yang baik,” harapnya.
Jangan sampai merasa memiliki ilmu namun tidak dibarengi dengan etika atau akhlak yang baik akan menjadi pribadi yang arogan. Kartini yang baik harus memiliki etika yang baik dan sopan santun. *red