BANDUNG, journalbroadcast.co -||- “Bu Sani, sampah organiknya, Bu!” ujar Siti Nurhayati, Ketua RW 21 Antapani Tengah saat menghampiri satu per satu rumah warga. Tiap dua hari sekali pukul 07.30-10.30 WIB, Siti dan timnya mengambil sampah organik dari rumah ke rumah.
Warga yang dikunjungi rumahnya, langsung keluar sembari membawa kresek berisikan sampah basah. Bukan perkara instan menciptakan habituasi seperti ini.
“Dulu banyak yang belum terima. Mungkin bagi yang belum mengerti, bingung kenapa sampah harus dipilah. Setelah diedukasi, masyarakat jadi paham dan bisa merasakan kalau sampah organik diangkut, tidak menimbulkan bau, tidak diacak-acak kucing,” ungkapnya.
Perlahan tapi pasti, secara rutin Siti dan para kader kebersihan terus menyosialisasikan mengenai pilah sampah dengan program Kang Pisman. Apalagi dengan kondisi TPA Sarimukti seperti saat ini, membuat masyarakat semakin paham betapa pentingnya memilah sampah.
“Kita selalu menyampaikan kabar mengenai TPA Sarimukti yang sudah melebihi kapasitas, ditambah lagi dengan kondisinya yang sekarang terbakar. Sebenarnya dengan keadaan TPA Sarimukti seperti sekarang ini, warga jadi mudah untuk kita ajak memilah sampah,” tuturnya.
Dari 300 warga, lebih dari 70 persen sudah ikut memilah sampah. Bukan hanya sampah organik dan anorganik, warga di RW 21 juga sudah mulai memisahkan sampah residu. Sampah organik diangkut tiap dua hari sekali. Sedangkan sampah anorganik diangkut seminggu sekali setiap hari Ahad.
Setelah mengangkut sampah dari rumah ke rumah menggunakan gerobak, sampah organik pun dibawa ke lokasi pengolahan di lahan bantaran sungai samping Jalan Cikajang.
“Sampah dikumpulkan di loseda komunal ini. Ada 3 buah, tapi kemarin digali lagi untuk tambah unit loseda komunal,” ucapnya.
Sampah-sampah organik tersebut harus menunggu kering dulu baru bisa dipanen, biasanya sekitar 2-3 bulan. Namun, jika dibantu dengan maggot dan mikro organisme local (mol) bisa mempercepat proses pembusukan sampah untuk menjadi kompos.
“Hasil dari pengolahan sampah organik bisa berupa kompos dan maggot yang dimanfaatkan untuk kebun-kebun di sini,” lanjut Siti.
Salah satu warga RW 21, Teguh juga mengaku sangat terbantu setelah berkomitmen memilah sampah selama empat bulan ini.
“Setelah mencoba pilah sampah, lalu sampah-sampah di sini juga diambil oleh petugas, jadi bisa mengurangi penumpukan sampah. Ternyata sangat membantu sekali. Terutama kalau untuk sampah organik yang sering bau,” aku Teguh.
Selain itu, ia juga mengatakan, sampah anorganik diambil seminggu sekali setiap hari Ahad. Sedangkan sampah residu biasanya diangkut seminggu dua kali, hari Selasa dan Kamis.
Sementara itu, Lurah Antapani Tengah, Teguh Haris Pathon menyebutkan, sampah di RW 21 dikelola berbagai pihak. Mulai dari petugas sampah, karang taruna, RW hingga kader posyandu. Rata-rata berat sampah organik yang diangkut dalam sehari mencapai 100 kg.
“Kita manfaatkan lahan yang ada di bantaran sungai dengan menanam loseda komunal menggunakan drum. Sampah tersebut dimasukkan dalam drum besar yang ditanam dalam tanah, setelah itu diberikan mol. Supaya penguraiannya lebih cepat,” terang Teguh.
Selain RW 21, penyelesaian sampah organik pun dilakukan di RW 12 dan 17 dengan sistem menggali tanah. Sehingga masyarakat dipaksa untuk memilah sampah dari rumah.
“Saat ini kita belum bisa membuang sampah ke TPS, sehingga warga ‘dipaksa’ untuk mulai bisa memilah sampah di rumah. Lalu kita angkut sampah organiknya untuk ditimbun. Di sini ada 24 RW. Minimal sampah organik sudah selesai di lingkungan masing-masing,” harapnya. *red